MENGGAIRAHKAN TRADISI ILMIAH
Bunga patma dan patung ganesha
Hari Ahad tanggal 17 Oktober 2010 kemarin, terdapat pernyataan Pak Mahfud MD, dosen FH UII dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, bahwa Perguruan Tinggi gagal melahirkan kecendekiawanan. Pernyataan ini sangat menarik untuk serius ditindaklanjuti oleh siapapun yang ada di perguruan tinggi, bukan untuk membela diri tetapi untuk intropeksi diri agar dapat berbenah untuk dapat melahirkan cendekiawan yang sesungguhnya. Semakin hari semakin terlihat betapa pragmatisme (dalam arti yang sangat negative) telah menjangkiti sebagian civitas akademika perguruan tinggi. Contoh yang paling mencolok adalah semakin seringnya ditemui kasus plagiasi yang dilakukan oleh orang yang bergelar doktor atau menuju jenjang professor. Contoh pada kalangan mahasiswa, banyak di antara mereka ketika mengerjakan tugas, mengcopi paste dari artikel di internet sehingga dalam papernya referensinya semua berasal dari website yang kebanyakan blog atau Wikipedia, tidak satu pun buku. Yang lebih memprihatinkan, kadang tidak kritis terhadap content yang dicopi paste itu. Misalnya, saya pernah mendapatkan cerita dari teman bahwa terjadi di sebuah perguruan tinggi X, dosen menugaskan mahasiswanya untuk membuat paper terkait dengan konsep jihad dan aplikasinya pada era kini, mahasiswa tersebut menguraikan bahwa jihad adalah “memerangi agama lain yang berujung pada genocide dan imperialisme di Negara yang diperangi…”. Uraian paper itu menjelaskan konsep jihad yang salah dan anehnya mahasiswa tersebut ketika menyampaikan tidak merasa ada yang salah. Untuk itu, kita sebagai civitas akademika di UII harus selalu kritis dan selalu menjunjung etika ilmiah dalam setiap berperilaku, agar hal negatif tersebut tidak berkembang di kampus UII kita tercinta.
Jika kondisi yang tidak baik tersebut dibiarkan berlangsung di banyak perguruan tinggi, maka saya sangat yakin bahwa perguruan tinggi pasti gagal melahirkan cendekiawan. Alih-alih melahirkan cendekiawan, justru akan melahirkan generasi yang sangat menyuramkan masa depan bangsa, akan lahir pengkhianat-pengkhianat dan pecundang.
Siapa sih cendekiawan itu?. Cendekiawan dalam kamus diartikan orang yang cendekia; intelektual; inteligensia. Cendekia berarti arif, bijak, cerdas, tinggi inteligensinya. Intelektual berarti orang terpelajar, cerdik pandai, bijak. Dengan demikian cendekiawan merupakan individu yang memiliki wawasan luas tentang nilai-nilai, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Menurut Prof. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim adalah seseorang dengan ciri-ciri: suka melakukan aktivitas pikir dan zikir, mengamati kejadian alam semesta untuk menemukan yang haq dan fungsinya bagi kehidupan manusia serta suka mempelajari sejarah dan gejala-gejala sosial sehingga menumbuhkan tanggung jawab sosialnya yang dimanifestasikan dalam sikap, perbuatan dan tindakannya. Dalam bahasa al-Quran disebut ulul albab, ulun nuha, dan ulama’. Di lihat dari konsekuensinya kecendekiawanan ditunjukkan oleh komitmennya terhadap persoalan-persoalan manusia dan masyarakat serta dibuktikan dengan tindakannya yang konkret. Kalau dalam bahasa yang familiar di UII, sarjana yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah. Menurut Ali Syari’ati disebut rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan.
Apapun sebutannya, yang pasti cendekiawan bukan hanya kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan bergelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya menuju lebih baik.
Memang tidak mudah untuk melahirkan cendekiawan, tetapi kalau tidak perguruan tinggi yang berikhtiar untuk terus melahirkannya, siapa lagi. UII sebagai perguruan tinggi berbasiskan Islam memikul tanggung jawab untuk melahirkan cendekiawan muslim yang karakternya sebagaimana di atas. Makanya tepat sekali hasil raker UII Juni lalu, bahwa proses menghasilkan out put yang hebat start from the classroom. Maka dari itulah, kedisiplinan dalam berkuliah dan kualitas proses perkuliahan menjadi syarat mutlak untuk menghidupkan tradisi ilmiah yang diharapkan dari situ bersemai bibit kecendekiawanan. Tradisi ilmiah di ruang kuliah misalnya dimulai dengan mendisiplinkan mahasiswa dalam menulis tugas agar menjunjung tinggi kaidah dan etika ilmiah, mengaktifkan mereka untuk berdiskusi secara kritis, mengaktifkan mereka merespon isu-isu kekinian kemasyarakatan dan kebangsaan, senantiasa mengkaitkan materi kuliah dengan nilai-nilai keislaman, dan lain-lain. Oleh karena itu, dosennya pun dituntut untuk canggih dalam bidang yang digelutinya dan selalu mengupdate horizon intelektualitasnya.
Aktivitas-aktivitas ilmiah yang berkembang di UII dalam beberapa waktu belakangan ini juga menunjukkan peningkatan, semoga itu merepresentasikan gairah tradisi ilmiah yang semakin berkembang, misalnya peserta workshop PKM membludak, seminar nasional peradaban Islam juga dibanjiri peserta, orasi ilmiah dari Prof. Hans Zehedmair dipenuhi peserta, peserta OSN-PTI meningkat hampir 100%, setiap prodi menyelenggarakan studium generale, dan lain-lain. Bahkan pada tahun 2010 ini, UII dinobatkan sebagai PT terbaik dalam karya ilmiah, ranking 1 untuk potensi karya ilmiah PTS se-Indonesia versi Dirjen Dikti. Semoga semua itu merupakan tanda yang menunjukkan semakin bergairahnya tradisi ilmiah di UII. Semoga tradisi ilmiah yang bergairah itu terus meningkat pada masa-masa mendatang, pada gilirannya memacu lahirnya cendekiawan-cendekiawan unggul di UII yang menjadi pencerah masa depan bangsa Indonesia. Amin. (Nur Kholis).