gairah tradisi ilmiah PT

MENGGAIRAHKAN TRADISI ILMIAH

Bunga patma dan patung ganesha

Hari Ahad tanggal 17 Oktober 2010 kemarin, terdapat pernyataan Pak Mahfud MD, dosen FH UII dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, bahwa Perguruan Tinggi gagal melahirkan kecendekiawanan. Pernyataan ini sangat menarik untuk serius ditindaklanjuti oleh siapapun yang ada di perguruan tinggi, bukan untuk membela diri tetapi untuk intropeksi diri agar dapat berbenah untuk dapat melahirkan cendekiawan yang sesungguhnya. Semakin hari semakin terlihat betapa pragmatisme  (dalam arti yang sangat negative) telah menjangkiti sebagian civitas akademika perguruan tinggi. Contoh yang paling mencolok adalah semakin seringnya ditemui kasus plagiasi yang dilakukan oleh orang yang bergelar doktor atau menuju jenjang professor. Contoh pada kalangan mahasiswa, banyak di antara mereka ketika mengerjakan tugas, mengcopi paste dari artikel di internet sehingga dalam papernya referensinya semua berasal dari website yang kebanyakan blog atau Wikipedia, tidak satu pun buku. Yang lebih memprihatinkan, kadang tidak kritis terhadap content yang dicopi paste itu. Misalnya, saya pernah mendapatkan cerita dari teman bahwa terjadi di sebuah perguruan tinggi X, dosen menugaskan mahasiswanya untuk membuat paper terkait dengan konsep jihad dan aplikasinya pada era kini, mahasiswa tersebut menguraikan bahwa jihad adalah “memerangi  agama lain yang berujung pada genocide dan imperialisme di Negara yang diperangi…”. Uraian paper itu menjelaskan konsep jihad yang salah dan anehnya mahasiswa tersebut ketika menyampaikan tidak merasa ada yang salah. Untuk itu, kita sebagai civitas akademika di UII harus selalu kritis dan selalu menjunjung etika ilmiah dalam setiap berperilaku, agar hal negatif tersebut tidak berkembang di kampus UII kita tercinta.

Jika kondisi yang tidak baik tersebut dibiarkan berlangsung di banyak perguruan tinggi, maka saya sangat yakin bahwa perguruan tinggi pasti gagal melahirkan cendekiawan. Alih-alih melahirkan cendekiawan, justru akan melahirkan generasi yang sangat menyuramkan masa depan bangsa, akan lahir pengkhianat-pengkhianat dan pecundang.

Siapa sih cendekiawan itu?. Cendekiawan dalam kamus diartikan orang yang cendekia; intelektual; inteligensia. Cendekia berarti arif, bijak, cerdas, tinggi inteligensinya. Intelektual berarti orang terpelajar, cerdik pandai, bijak. Dengan demikian cendekiawan merupakan individu yang memiliki wawasan luas tentang nilai-nilai, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Menurut Prof. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim adalah seseorang dengan ciri-ciri: suka melakukan aktivitas pikir dan zikir, mengamati kejadian alam semesta untuk menemukan yang haq dan fungsinya bagi kehidupan manusia serta suka mempelajari sejarah dan gejala-gejala sosial sehingga menumbuhkan tanggung jawab sosialnya yang dimanifestasikan dalam sikap, perbuatan dan tindakannya. Dalam bahasa al-Quran disebut ulul albab, ulun nuha, dan ulama’. Di lihat dari konsekuensinya kecendekiawanan ditunjukkan oleh komitmennya terhadap persoalan-persoalan manusia dan masyarakat serta dibuktikan dengan tindakannya yang konkret. Kalau dalam bahasa yang familiar di UII, sarjana yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah. Menurut Ali Syari’ati disebut rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan.

Apapun sebutannya, yang pasti cendekiawan bukan hanya kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan bergelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya menuju lebih baik.

Memang tidak mudah untuk melahirkan cendekiawan, tetapi kalau tidak perguruan tinggi yang berikhtiar untuk terus melahirkannya, siapa lagi. UII sebagai perguruan tinggi berbasiskan Islam memikul tanggung jawab untuk melahirkan cendekiawan muslim yang karakternya sebagaimana di atas. Makanya tepat sekali hasil raker UII Juni lalu, bahwa proses menghasilkan out put yang hebat start from the classroom. Maka dari itulah, kedisiplinan dalam berkuliah dan kualitas proses perkuliahan menjadi syarat mutlak untuk menghidupkan tradisi ilmiah yang diharapkan dari situ bersemai bibit kecendekiawanan. Tradisi ilmiah di ruang kuliah misalnya dimulai dengan mendisiplinkan mahasiswa dalam menulis tugas agar menjunjung tinggi kaidah dan etika ilmiah, mengaktifkan mereka untuk berdiskusi secara kritis, mengaktifkan mereka merespon isu-isu kekinian kemasyarakatan dan kebangsaan, senantiasa mengkaitkan materi kuliah dengan nilai-nilai keislaman, dan lain-lain. Oleh karena itu, dosennya pun dituntut untuk canggih dalam bidang yang digelutinya dan selalu mengupdate horizon intelektualitasnya.

Aktivitas-aktivitas ilmiah yang berkembang di UII dalam beberapa waktu belakangan ini juga menunjukkan peningkatan, semoga itu merepresentasikan gairah tradisi ilmiah yang semakin berkembang, misalnya peserta workshop PKM membludak, seminar nasional peradaban Islam juga dibanjiri peserta, orasi ilmiah dari Prof. Hans Zehedmair dipenuhi peserta, peserta OSN-PTI meningkat hampir 100%, setiap prodi menyelenggarakan studium generale, dan lain-lain. Bahkan pada tahun 2010 ini, UII dinobatkan sebagai PT terbaik dalam karya ilmiah, ranking 1 untuk potensi karya ilmiah PTS se-Indonesia versi Dirjen Dikti. Semoga semua itu merupakan tanda yang menunjukkan semakin bergairahnya tradisi ilmiah di UII. Semoga tradisi ilmiah yang bergairah itu terus meningkat pada masa-masa mendatang, pada gilirannya memacu lahirnya cendekiawan-cendekiawan unggul di UII yang menjadi pencerah masa depan bangsa Indonesia. Amin. (Nur Kholis).

 

SELALU SIAP

SELALU SIAP

Hidup memang harus selalu siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan, agar senantiasa dalam posisi seimbang. Kalau tidak siap, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan dan biasanya selalu berujung keterpurukan. Menjadi kaya diperlukan kesiapan, kalau tidak siap kekayaannya akan menyeretnya pada kehancuran. Menjadi pintar dan berilmu juga diperlukan kesiapan, kalau tidak ia akan menggunakan kepintarannya dan ilmunya untuk “minteri” orang, sistem dan peraturan sehingga pada akhirnya ia akan menghalalkan segala cara dengan ilmu dan kepintarannya. The endnya ia akan tersungkur akibat penyalahgunaan terhadap ilmu dan kepintarannya.

Sebaliknya menjadi miskin dan gagal juga perlu kesiapan, kalau tidak siap kemiskinannya akan mendorongnya untuk menjadi penjahat yang menyeretnya pada kehancuran.  Menghadapi musibah juga perlu kesiapan, kalau tidak, musibah akan mengantarkan pihak yang terkena pada keputus asaan yang mengantarkannya pada keterpurukan yang lebih dalam.  Kesiapan Jepang dalam menghadapi musibah gempa bumi dan tsunami merupakan pelajaran yang luar biasa. Jepang telah sangat sadar akan potensi gempa dan tsunami yang terjadi di wilayahnya, oleh karena itu mereka telah mempersiapkan teknologi yang canggih untuk mengantisipasinya. Mereka tidak berhenti sampai di situ, mereka mengedukasi terus menerus rakyatnya untuk menghadapi gempa dan tsunami, sehingga rakyatnya betul-betul mengerti, memahami bagaimana bertindak kalau terjadi gempa dan tsunami tanpa kepanikan yang berlebihan. Mereka juga tidak menjadikan bencana sebagai media minta belas kasihan, mereka sangat mandiri dan bersungguh-sungguh mengatasi musibah yang dihadapi. Kalau kita renungkan, sungguh banyak i’tibar  yang dapat kita petik dari kesiapan Jepang dalam berbagai halnya.

Pada intinya, dalam hidup ini kita dituntut untuk selalu siap menghadapi berbagai kemungkinan. Dalam lingkup UII, semua pemegang amanah di UII, dari level tertinggi hingga paling bawah, pada Maret 2011 ini harus siap diaudit dalam kerangka kegiatan AMI (Audit Mutu Internal), setelah dibuka secara resmi pada senin 14 Maret lalu. Setiap pemegang amanah harus selalu siap mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya. Adanya AMI yang rutin dilakukan merupakan suatu langkah yang sangat baik dan strategis untuk secara gradual memastikan kualitas penjaminan mutu di UII, agar senantiasa dapat dipertingkatkan (continous improvement). Oleh karena itu, mestilah kita sambut AMI dengan gembira dan suka cita dengan menyiapkan sebaik-baiknya, bukan sebagai beban. Sejatinya, memang mestinya semua proses dan aktivitas penjaminan mutu telah menyatu dan terintegrasi dengan semua aktivitas yang berlangsung di semua unit di UII. Setiap aktivitas pemegang amanah dalam melaksanakan amanahnya selalu berpandukan manajemen mutu. Kita harus mampu mempertahankan predikat UII sebagai perguruan tinggi dengan penjaminan mutu terbaik di Indonesia.

Di sisi lain, gedung perpustakaan yang besar, megah, dan bagus yang insyaAllah tidak lama lagi akan rampung pembangunannya juga diperlukan kesiapan untuk memanfaatkannya secara optimal. Baik kesiapan dari sisi pemanfaatan gedungnya, tetapi juga kesiapan penggunanya, yaitu civitas akademika. Jangan sampai gedung megah, koleksi banyak, tetapi sepi pengunjung. Perlu ada upaya sosialisasi, edukasi dan “iming-imingisasi” pada khalayak UII agar tertarik menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang wajib dikunjunginya secara rutin.

Pembangunan gedung perpustakaan sebaiknya dilanjutkan dengan pembangunan fasilitas peneduh yang menghubungkan antar gedung di UII dengan perpustakaan dan antar gedung dan parkiran. Ini sudah banyak yang mengusulkan. Saya sudah sering mendengar usulan ini dari teman-teman dosen maupun mahasiswa. Terlebih lagi di musim yang semakin tidak menentu karena tidak jelas batas antara musim kemarau dan hujan. Faktanya hampir setiap hari turun hujan. Usulan berbeda dengan berkeluh kesah. Berkeluh kesah seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah, menjadi pribadi yang tidak pandai bersyukur. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Tentu saja kalau fasilitas peneduh penghubung antar gedung itu segera terwujud akan semakin meningkatkan tingkat kepuasan stakeholder terhadap pengemban amanah UII. Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjadi pribadi yang selalu siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan, pandai mengambil i’tibar dalam setiap peristiwa dan bersyukur atas semua karunia-Nya. Amin

HIJRAH KONTEKSTUAL

HIJRAH KONTEKSTUAL
Dalam rentang waktu yang berdekatan, kita menjumpai pergantian tahun dua kali, yaitu Tahun Baru Hijriyah 1432 yang jatuh pada tanggal 7 Desember dan Tahun Baru Masehi 2011 pada 1 Januari. Pergantian tahun memberikan makna yang beragam bagi setiap orang. Akan tetapi, yang pasti bahwa bergantinya tahun menunjukkan “bertambahnya” usia seseorang, akan tetapi hakikatnya umurnya “berkurang” atau dengan kata lain jatah hidupnya di dunia semakin berkurang.
Oleh karena itu, dengan hakikat umur seperti itu, seharusnyalah kalau pergantian tahun dimanfaatkan untuk mengevaluasi (muhasabah) diri, introspeksi atas aktivitas ibadah dan keimanannya pada tahun yang lalu, dan menyiapkan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas ibadah, keimanan serta ketaqwaannya untuk tahun mendatang. Allah (QS 59: 18) memerintahkan agar setiap diri memperhatikan apa yang telah disiapkan untuk hari esok (akhirat). Rasulullah SAW menyatakan pada hari kiamat, setiap manusia ditanya empat perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa digunakan, hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dihabiskan, dan ilmunya untuk apa dimanfaatkan. (HR Tirmidzi). Khalifah Umar bin Khathab menyatakan, ‘Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang”.
Bagi umat Islam, pergantian tahun Hijriyah yang ditandai dengan kehadiran bulan Muharram memberikan makna tersendiri yang spesifik, karena merupakan momentum penting bersejarah yaitu peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya dari Makkah ke Madinah yang menjadi titik cerah perkembangan spektakuler dakwah Islam. Peristiwa tersebut kemudian ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab permulaan kalender Hijriyah.
Hijrah secara etimologis artinya berpindah. Secara terminologis, hijrah mengandung dua makna hijrah makani dan hijrah maknawi. Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik. Hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dua makna hijrah tersebut terekam jelas dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Dalam pengertian ini, semangat hijrah yang patut diimplementasikan sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai yang tidak baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai Allah dan dapat diterima umat manusia pada umumnya, hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang Islami, meningkatkan spritualitas dan kesadaran keagamaan menjadi lebih baik. Hal tersebut menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia, terutama ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan patut direnungi untuk diambil hikmahnya. Untuk itu, upaya mengkontekstualkan makna hijrah dapat diartikulasikan dalam kehidupan personal, keluarga, sosial kemasyarakatan dan bernegara secara sinergis.
Secara kontekstual, hal-hal yang harus dilakukan ketika memasuki tahun baru Hijriyah adalah sebagai berikut: 1) Hidupkan semangat baru untuk memulai tahun baru ini dengan nilai-nilai mulia yang memancar dari relung keimanan yang sangat dalam, yaitu keimanan terhadap kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah SAW. 2) Ikutilah jejak perjuangan dan pengorbanan Rasulullah beserta sahabat-sahabatnya, dimana dari cerminan hijrah yang mereka lakukan, sungguh terlihat betapa mereka tidak lagi mendahulukan dunia dalam langkah hidupnya, melainkan malah mengorbankan dunia untuk kepentingan akhirat. 3) Bawalah spirit hijrah ini ke segala lapangan kehidupan, dalam arti pindah dari masa lalu yang kurang baik, ke hari esok yang penuh dengan ketaatan kepada Allah. Tidak hanya dalam segi ibadah melainkan dalam segala lapangan kehidupan. Termasuk berhijrah dari kebiasaan ngrasani (ghibah), menebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, berburuk sangka, iri hati, membuat peta comply (namimah), bertindak zalim menuju kepada akhlak yang baik dan bertindak adil dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbisnis dan bernegara.
Di samping itu, pergantian tahun baru pada hakikatnya juga mengingatkan manusia tentang pentingnya waktu. Siapa yang mengetahui arti waktu berarti mengetahui arti kehidupan. Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri. Dengan begitu, orang-orang yang selalu menyia-nyiakan waktu dan umurnya adalah orang yang tidak memahami arti hidup. Yusuf Qardhawi menjelaskan tentang tiga ciri waktu, yaitu: 1) waktu itu cepat berlalunya, 2) waktu yang berlalu tidak akan mungkin kembali lagi, 3) waktu itu adalah harta yang paling mahal bagi seorang Muslim. Oleh karena itu, marilah pada kesempatan pergantian tahun ini kita mengevaluasi diri, bermuhasabah, untuk menjadi insan yang hari ini selalu lebih baik dari kemarin, esok lebih baik dari hari ini. Kuncinya adalah start with yourself, start early, start small, start now (John C. Maxweel, Developing the Leader, Within You). Semoga Allah mempermudahkan kita memperbaiki kualitas diri, keluarga, institusi, dan bangsa. Amin.

berkepribadian ala Rasulullah SAW

BERKEPRIBADIAN PROFETIK
Dalam bulan ini, banyak peristiwa penting terjadi baik berskala “nasional UII”, nasional Indonesia, maupun berskala Internasional. Yang berskala Internasional misalnya jatuhnya Hosni Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir yang telah digenggamnya lebih dari 30 tahun, menyusul jatuhnya Mantan Presiden Ben Ali di Tunisia dan lain-lain. Yang berskala nasional Indonesia, terjadi kerusuhan di Temanggung yang dipicu kasus penistaan agama dan penyerangan dan aksi kekerasan kepada kelompok Ahmadiyah di Cikeusik Banten, dan lain-lain. Yang berskala nasional UII adalah telah terlaksananya training ESQ untuk tenaga kependidikan di UII, setelah sebelumnya berlangsung training serupa untuk struktural edukatif, dan lain-lain. Kalau kita cermati, hal-hal itu semua ada hubungannya dengan kepribadian dan akhlak manusia. Oleh karena itu, tepat sekali kalau dalam tajuk dibahas tentang pembentukan kepribadian dan akhlak manusia yang berlandaskan pada kepribadian profetik paripurna yang diteladankan oleh Rasulullah SAW, karena bulan ini juga bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kepribadian dan akhlak Muhammad SAW adalah sangat luar biasa. Bahkan Michael H. Hart (seorang non muslim), penulis buku termasyhur yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah” menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang nomor satu (1) tokoh paling berpengaruh dalam sejarah melebihi Nabi Isa, Isaac Newton, Budha, St. Paul dan lain-lain. Michael H. Hart menyatakan: “Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.”
Di antara fungsi training ESQ di UII adalah agar civitas akademika edukatif dan non edukatif UII dapat berakhlak dan berkepribadian islami sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Yang paling utama ada empat sifat utama Rasulullah SAW yang harus diteladani oleh umat Islam. Pertama, Sidik yang berarti jujur, memiliki integritas. Saat ini kita membutuhkan tokoh, pemimpin dan masyarakat yang jujur dan berintegritas tinggi karena akan melahirkan kemakmuran. Pemimpin yang sidiq tidak akan mempergunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya atau kelompoknya.
Kedua, fatonah yang berarti cerdas. Masyarakat kita yang mayoritas muslim harus dapat memilih pemimpin yang cerdas yang berusaha meningkatkan pengetahuan sehingga dapat bersikap arif dan bijaksana kepada siapa pun. Tidak menangnya sendiri dan gampang marah kalau menemukan kesalahan pada bawahannya. Nabi Muhammad SAW terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Mengenai Ali, Rasul SAW bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.” Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum meneladani sunnah Nabi.
Ketiga, amanah yang berarti seorang yang profesional dan bertanggung jawab. Nabi menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan kewajibannya. Tidak menempatkan kepentingan pribadi Dan tentu saja hal ini menimbulkan kepercayaan. Terakhir, sifat tabligh yang berarti menyampaikan atau mampu berkomunikasi dengan baik.
Beliau baik akhlaknya, tampan rupanya. Tubuhnya atletis dan selalu terawat bersih. Beliau lemah lembut namun ksatria, ramah tapi serius, dan otaknya cerdas. Tangannya sangat senang memberi, hatinya sangat berani dan lidahnya sangat bisa dipercaya. Pada malam hari beliau hanya tidur sebentar, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk ibadah. Beliau sangat menyayangi orang miskin, mencintai anak-anak dan menghormati wanita. Beliau bagaikan seorang ayah bagi sahabat, sangat pemaaf, bahkan terhadap bekas musuhnya. Akhlaknya adalah Alquran, lemah lembut, kasih sayang, mencintai dan dicintai. Kini secara fisik, Rasulullah SAW tidak hadir lagi ditengah-tengah umat, namun keteladanannya tetap dapat “dilihat” seluruh umat manusia.
Rasulullah SAW menegaskan, “Allah SWT hanya memberikan kasih sayangnya kepada hamba-hambanya yang penuh kasih.” (HR ath-Thabrani). Merupakan kesalahan jika Islam dipersepsikan sebagai agama keras atau mengajarkan kekerasan. Begitu juga tindakan-tindakan sebagian pemeluknya yang dapat mencoreng wajah santun dan lemah lembut Islam.
Al-Aqra` ibn Habis at-Tamimin suatu hari melihat Rasulullah SAW mencium kedua cucunya, Hasan dan Husain. Dia heran kemudian berkata kepada Rasulullah, “Aku adalah orang yang punya sepuluh anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun di antara mereka.” Rasulullah SAW kemudian menjawab, “Sesungguhnya orang yang tidak punya kasih sayang tidak akan dirahmati (Allah SWT).” (HR Ahmad dan lain-lain).

Al-Aqra` melihat bahwa kelembutan dan kasih sayang hanya tumbuh dari sifat tak berdaya dan kehinaan. Padahal, kekuatan dan kebesaran yang sesungguhnya adalah jika sesorang mampu menampilkan kelembutan dan kasih sayang. Kelembutan dan kasih sayang itulah justru yang mampu menjadi metode ampuh dalam berdakwah dan menyelesaikan permasalahan.
Kita seharusnya mampu menjadi muslim yang santun, punya kepedulian dan rasa kasih sayang kepada semua orang yang membutuhkannya, termasuk orang-orang yang membutuhkan bimbingan keagamaan karena akidahnya yang sesat. Kita juga harus berupaya sekuat tenaga untuk dapat meniru semua perilakunya yang indah, semua budi pekertinya yang agung. Semoga Allah memberi inayah kepada kita semua untuk dapat berkepribadian profetik dengan meneladani semua akhlak Rasulullah SAW. Amin.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.